Dibalik cerita RUU Perampasan aset


 Dibalik cerita RUU Perampasan aset

Keseriusan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk untuk memberantas korupsi harus dibuktikan dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Sebab, penyusunan RUU ini sebetulnya sudah dimulai sejak 2003 yang diinisiasi oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Di mana, rumusannya mengadopsi ketentuan UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) yang memuat konsep Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) yang berakar dari tradisi hukum di negara-negara common law system.

RUU ini pun beberapa kali masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), di antaranya di tahun 2008, 2014, 2015-2019 dan kini di tahun 2023. Namun hingga saat ini DPR mengaku masih belum menerima surat presiden (surpres) terkait RUU ini. Hal ini dikarenakan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dan Kapolri belum memberikan persetujuan terhadap nashkah RUU tersebut. Padahal, Presiden Jokowi sudah beberapa kali menyebutkan bahwa RUU Perampasan Aset harus segera disahkan. Jokowi kembali tegas mengingatkan hal ini saat menanggapi Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang jeblok di tahun 2022.

Semangat utama RUU Perampasan Aset adalah hendak merampas aset yang diperoleh dari hasil kejahatan (proceed of crime) dan aset-aset lain yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana (instrumentalities) untuk melakukan tindak pidana. Dalam konteks pemberantasan korupsi, RUU ini nantinya akan berguna untuk merampas aset pejabat negara dari pendapatan yang tidak wajar, serta tidak dapat dibuktikan diperoleh secara sah. Mengingat, perampasan aset melalui RUU ini tidak memerlukan adanya bukti kesalahan dari pelaku kejahatan yang sulit dibuktikan dalam sidang pengadilan, sementara kerugian negara secara nyata yang telah terjadi. Selain itu juga apabila terdapat situasi di mana terdakwa meninggal, sakit permanen dan memiliki imunitas sehingga sulit diadili dalam persidangan pidana, RUU ini menjadi solusi untuk menyelamatkan uang negara yang dikorupsi.

Ketiadaan payung hukum yang kuat dalam menyita aset koruptor membuat tindak pidana korupsi seringkali dianggap berisiko rendah, namun berimbalan tinggi. Ini karena negara hanya dapat menyita aset yang terbukti sebagai kerugian negara. Sebagai contoh dalam kasus korupsi Simulator SIM dengan terpidana mantan Kepala Korlantas Polri, Djoko Susilo. Pada pengadilan tingkat pertama, majelis hakim menilai harta kekayaan yang diperoleh sejak 2003 hingga 21 Oktober 2010 sejumlah Rp 54.625.540.129 dan 60.000 dollar AS, yang mana harta itu tak sesuai dengan penghasilan resmi dari Polri pada kurun yang sama sebesar Rp 407.136.000 dan penghasilan lain Rp 1,2 miliar. Dengan demikian, dianggap harta yang tak sah. Pada putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 97 PK/Pid.Sus/2021, dakwaan pencucian uang terhadap Djoko Susilo dinyatakan tak terbukti karena tidak memiliki tindak pidana asal sehingga KPK bahkan harus mengembalikan harta yang dirampas berdasarkan dakwaan ketiga itu.1

Permasalahan akan semakin rumit apabila pelaku kejahatan menyembunyikan hasil kejahatan (proceeds of crime) melalui proses pencucian uang. Contohnya, pada 2001-2012, terdapat 704 aset hasil kejahatan atau tindak pidana yang diidentifikasi, hanya 22 aset yang berhasil dipulihkan (UNODC, 2012). Dari potensi USD 554,89 miliar aset hasil tindak pidana yang dapat dikejar, Pemerintah Indonesia hanya berhasil memulihkan USD 3 miliar (Sunaryadi dan Amurwati, 2012).2

Kita sudah sering melihat hukuman penjara tidak memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi. Pendekatan hukum pidana saat ini pun belum mampu menyelesaikan persoalan kerugian negara dengan lebih cepat dan efisien. Berbagai pemberitaan di media terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) serta vonis pengadilan yang dijatuhkan tidak cukup mampu membendung laku korupsi. Harapannya dengan merampas aset yang diperoleh para perampok negara ini akan memberikan efek jera yang kuat. 

Memasuki tahun politik 2024, mari sama-sama mencermati siapa saja partai politik dan calon presiden yang serius mendukung pengesahan RUU Perampasan Aset, karena dari situ berarti mereka benar-benar berkomitmen memberantas korupsi.

Beragam Usulan untuk RUU Perampasan Aset

Mulai dari status tersangka/terdakwa yang bisa diajukan perampasan aset, hingga kesiapan aparat penegak hukum menjalankan UU Perampasan Aset nantinya.

Perampasan aset tanpa pemidanaan atau non-conviction based (NCB) asset forfeiture yang diatur dalam RUU Perampasan Aset dinilai bukan konsep baru di Indonesia. Konsep tersebut sebagai upaya agar dapat mengembalikan kerugian negara secara maksimal. Sejatinya peraturan perundangan di Indonesia telah mengadopsi konsep tersebut, namun tidak memenuhi secara maksimal dasar filosofis adanya konsep NBC asset forfeiture.

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI Jakarta Reda Manthovani, mengatakan regulasi yang selama ini digunakan untuk perampasan aset menggunakan mekanisme perdata yakni Pasal 32-34 UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Jaksa Pengacara Negara (JPN) dapat mengajukan gugatan untuk penyitaan dan perampasan aset dalam hal tersangka/terdakwa berada dalam 4 status.

Pertama, tersangka atau terdakwa meninggal dunia. Kedua, terdakwa diputus bebas. Ketiga, tersangka atau terdakwa menjadi gila. Keempat, tidak ditemukan ahli waris dari tersangka atau terdakwa. Jika gugatan menggunakan mekanisme perdata, maka prosesnya membutuhkan waktu yang sangat lama dan banyak menghadapi hambatan.

Berbagai hal itu penting untuk masuk dalam RUU Perampasan Aset. Beberapa hal yang belum lengkap aturannya dalam sistem hukum kita bisa dilengkapi,” ujar Reda dalam diskusi bertema ‘Menyoal Perampasan Aset: Urgensi UU Perampasan Aset di Indonesia’, Senin (12/6/2023)

Reda yakin pembahasan RUU Perampasan Aset nanti akan menuai banyak perdebatan. Misalnya, di kalangan pegiat HAM akan mempersoalkan mekanisme perampasan aset ini dengan hak milik individu, dan asas praduga tak bersalah. Ada juga pandangan yang menilai seseorang tidak dapat dipidana karena dicurigai memiliki harta. Oleh karena itu harus ada mekanisme yang adil dalam proses perampasan aset.

Tapi  Reda yang juga mantan Kajati Banten itu mengingatkan, RUU Perampasan Aset ini penting dan sangat dibutuhkan. Secara umum RUU Perampasan Aset memuat ketentuan yang lebih moderat ketimbang UU Perampasan Aset yang digunakan negara lain. Rancangan beleid ini nantinya harus melihat kondisi yang berkembang di Indonesia seperti mengadopsi kearifan lokal.

Post a Comment

Previous Post Next Post