Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia atau BPK RI mendapati empat temuan yang memuat tujuh permasalahan dalam pelaksanaan proyek pengembangan lapangan gas Unitisasi Jambaran – Tiung Biru (JTB) di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 1,59 triliun.
“Permasalahan tersebut meliputi 1 kelemahan sistim pengendalian internal atau SPI dan 6 ketidakpatuhan sebesar Rp 40,65 miliar dan USD 103,37 juta atau total ekuivalen Rp 1,59 triliun,” jelas BPK dalam dokumen Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2023 yang diakses suarabanyuurip.com, Rabu (6/12/2023).
BPK telah menyelesaikan hasil pemeriksaan atas proyek pengembangan lapangan gas unitisasi JTB tahun 2017 hingga semester I 2022 pada SKK Migas, PT Pertamina EP Cepu (PT PEPC), dan instansi terkait di DKI Jakarta dan Jawa Timur.
PT PEPC merupakan pemilik partisipasi (participating interest) 45 persen pada Wilayah Kerja (WK Cepu), ditunjuk sebagai Operator Lapangan Gas Unitisasi JTB sejak ditandatanganinya head of agreement (HoA) antara EMCL, PT PEPC, PT Pertamina EP pada 17 Agustus 2011.Pada tanggal 20 September 2022, PT PEPC dan SKK Migas telah berhasil melakukan kegiatan on stream gas JTB dan sampai dengan 18 November 2022 telah dilakukan lifting gas sebesar 1.391,71 MMSCFD.
BPK menguraikan beberapa permasalahan signifikan yang ditemukan dalam proyek pengembangan lapangan gas Unitisasi JTB. Yaitu hasil pekerjaan proyek Engineering, Procurement, Construction, and Commissioning (EPCC) Gas Processing Facility (GPF) yang dilaksanakan oleh Konsorsium Rekind, JGC dan JGC Indonesia (RJJ) belum sepenuhnya sesuai dengan lingkup pekerjaan pada kontrak dan perubahannya.
Seperti terdapat pengurangan lingkup pekerjaan dan deviasi spesifikasi teknis hasil pekerjaan yang belum ditetapkan sebagai contract change order (CCO) pengurang nilai kontrak EPCC GPF sebesar USD 6,99 juta.
Kemudian, volume item pekerjaan terpasang yang kurang dari dokumen pendukung pembayaran sebesar USD 2,53 juta.Selain itu, terdapat keterlambatan atas pelaksanaan pekerjaan EPCC GPF. Hal ini mengakibatkan kelebihan pembebanan biaya operasi atas hasil pekerjaan EPCC GPF yang tidak sesuai lingkup pekerjaan minimal sebesar USD 9,52 juta, serta denda keterlambatan berpotensi tidak menambah bagi hasil bagian negara sebesar USD 82,79 juta.Juga, negara kehilangan potensi pendapatan dari gas yang tidak dapat dijual untuk periode 20 September sampai 18 November 2022 karena belum selesainya seluruh GPF minimal sebesar USD 5,84 juta,” sebut BPK.
Atas temuan permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan Kepala SKK Migas agar memerintahkan Kepala Unit Percepatan Proyek (UPP) JTB SKK Migas berkoordinasi dengan Direktur Utama PT PEPC untuk menetapkan CCO EPCC GPF minimal sebesar USD 6,99 juta dan memperhitungkannya sebagai pengurang nilai amandemen kontrak. Kemudian, mengenakan denda keterlambatan kepada Konsorsium RJJ sebesar USD 82,79 juta, dan segera menyelesaikan pekerjaan EPCC GPF.Serta memerintahkan Kepala Divisi Pemeriksaan Perhitungan Bagian Negara SKK Migas untuk tidak memperhitungkan biaya item pekerjaan yang kurang terpasang dalam close out Authorization for Expenditure (AFE) GPF minimal sebesar USD 2,53 juta.
“Dan memperhitungkan denda keterlambatan sebagai pengurang nilai proyek pada proses close out AFE GPF,” kata BPK.
sumber:suarabanyuurip.com